REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK -- Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan)
mengembangkan metode BNCT (Boron Neutron Capture Therapy) yang sangat
efektif dalam mengobati penyakit kanker dibanding metode lainnya seperti
kemoterapi dan radioterapi.
"Kelebihan metode terapi Boron ini
adalah presisinya, hanya merusak sel target, sedangkan sel lain aman,"
kata Peneliti Utama Pusat Sains dan Teknologi Akselerasi Batan
Yogyakarta, Yohanes Sarjono pada penandatanganan kerja sama iptek nuklir
antara Batan dan Universitas Tanjungpura (Untan) di Pontianak, Kalbar,
Kamis (14/8).
Menurut Sarjono, perbandingan sel yang rusak adalah
50 banding satu, yakni hanya satu sel sehat yang ikut rusak untuk
setiap 50 sel kanker yang ditarget, ini jauh dibanding dengan kemoterapi
yang merusak banyak sekali sel sehat untuk membasmi sedikit sel kanker.
Terapi
yang dikembangkan tersebut, menurut dia, juga akan jauh lebih murah dan
cepat dibanding terapi kanker lainnya. "Terapi Boron dilakukan dengan
menyuntikkan Boron ke dalam aliran darah hingga terkumpul di sel kanker.
Boron ini dilekatkan pada analog kunyit (curcuma) yang telah diteliti
memiliki daya ikat tinggi terhadap sel kanker," katanya.
Setelah
itu, lanjut dia, dilakukan iradiasi ke sel kanker pasien dengan netron
energi rendah hingga Boron di tubuh pasien berubah menjadi partikel alfa
plus ion Lithium yang merusak kanker. "Kelebihan Boron adalah tidak
bersifat racun dan memang hanya Boron di lokasi kanker yang teraktivasi
netron sehingga tidak merusak sel lain yang sehat," terang Sarjono.
"Selain
itu partikel alfa yang dihasilkan Boron hanya memiliki jangkauan 9
mikrometer yang kurang dari diameter sel (10-20 mikrometer) sehingga
radiasi ini hanya akan merusak kanker tanpa keluar dari target, dan
penyembuhan berlangsung efektif," tambah dokter penyakit kanker dari FK
UGM, Bagaswoto Poedjomartono.
Riset tersebut, ujar Sarjono,
dimulai pada 2014 dengan mengembangkan sumber netron di reaktor Kartini
Yogyakarta dan senyawa analog curcumin sebagai senyawa boron. Jumlah
penderita kanker, ujar dia, terus meningkat, dari 12,7 juta kasus pada
2008 menjadi 14,09 juta pada 2012 dan akan menjadi 22 juta kasus pada
2030.
Riset yang dibiayai Kemristek ini, ujar dia, selain
dikerjakan Batan juga melibatkan berbagai institusi lain dalam satu
konsorsium seperti UGM, Untan, UII, RSUD Dr Sardjito, RSUD Dr Sudarso,
Kemkes, dan lainnya. Kepala Batan Djarot Wisnubroto mengatakan pada 2015
diharapkan telah dilakukan uji di tingkat lab terhadap metode BNCT ini,
uji klinis pada 2016 dan pada 2018 sudah bisa diaplikasikan di berbagai
rumah sakit.
0 komentar:
Posting Komentar