Terik matahari yang menyengat ditambah dengan
senandung klakson para mobil tua dengan asapnya yang mengepul, seakan-akan
menjadi sarapan setiap pagiku. Ini adalah kebiasaanku setiap pagi,
bernapanas-panasan, dengan penuh kecucuran sambil menunggu kendaraan untukku
datang. Sikopaja yang menurutku sebaiknya dimuseumkan saja. SiKOPAJA yaah itu
namanya namun hanya bus itulah yang setia mengantarkanku karena hanya itu yang
sesuai dengan isi kantongku.
Sudah dua bulan aku berada dikota ini, yang sebagian
orang menganggap kota besar ini adalah surge namun bagiku ini hanya neraka
belaka, tentunya bagi orang miskin seperti aku. Yang hanya bisa menggantungkan
nasib ayah ibuku dikampung halaman. Hanya merekan yang mampu mengisi semangatku
untuk terus berjuang dikota metropolitan ini. Dan aku telah muak dibuatnya,
dengan segala yang ada dihadapanku.
Tiba-tiba suara klakson kopajaku datang, ini
pertanda ia telah siap menghantarkanku ke tempat tujuan dan dalam sekejab semua
lamunanku lenyap. Ku bergegas naik, karena tentunya aku sedang dikejar oleh
waktu. Dan waktu tak mungkin kuajak untuk bersahabat. Untungnya didalam bus tak
begitu ramai, jadi aku bisa memilih beberapa tempat kursi dibagian belakang dan
jelas tak begitu pengap seperti biasanya.
Hal yang paling aku sukai ketika dikopaja adalah
membaca buku dan hari ini yang kubawa adalah novel. Novel yang kupinjam dari
teman kostku. Karena dengan itulah aku dapat melupkan hiruk pikuk kota ini dan
membayangkan kampong halamanku yang begitu indah. Baru lima menit aku duduk
didalam bus. Dan seorang kemudian memanggilku.
“maaf bak apa kursi sebelah kosong??” tatapan
bertanya
Tampa melihat wajahnya aku bergegas mengambil tas dan
almamaterku yang ku taruh begitu saja disampingku dan aku langsung berkata
kepadanya.
“yaa silahkan” ujarku
Sekilas
aku melihat matanya yang berbinar dan wajahnya.,.
Sambung
kebagian dua
0 komentar:
Posting Komentar